Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan di dalam Sunannya :
حَدَّثَنَا ابْنُ عَوْفٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَعِيلَ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ ابْنُ عَوْفٍ وَرَأَيْتُ فِي أَصْلِ إِسْمَعِيلَ قَالَ حَدَّثَنِي ضَمْضَمٌ عَنْ شُرَيْحٍ عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْعَرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَلَجَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ فَلْيَقُلْ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ خَيْرَ الْمَوْلَجِ وَخَيْرَ الْمَخْرَجِ بِسْمِ اللَّهِ وَلَجْنَا وَبِسْمِ اللَّهِ خَرَجْنَا وَعَلَى اللَّهِ رَبِّنَا تَوَكَّلْنَا ثُمَّ لِيُسَلِّمْ عَلَى أَهْلِهِ
Ibnu Auf menuturkan kepada kami. Dia berkata; Muhammad bin Isma’il menuturkan kepada kami. Dia berkata; Ayahku menuturkan kepadaku. Ibnu Auf mengatakan; Aku melihat pada sumber -kitab-nya adalah -dari riwayat- Isma’il, dia berkata; Dhamdham menuturkan kepadaku dari Syuraih dari Abu Malik al-Asy’ari -radhiyallahu’anhu- dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila salah seorang masuk ke rumahnya hendaknya dia membaca ‘Allahumma inni as’aluka khairal maulaj wa khairal makhraj Bismillahi walajnaa wabismillahi kharajnaa wa ‘alallahi Rabbinaa tawakkalnaa’ kemudian hendaknya dia mengucapkan salam kepada penghuninya.” (HR. Abu Dawud [4432], at-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir [3378]. al-Albani mensahihkan sanadnya dalam as-Shahihah [225] dan dinilainya sahih dalam Sahih al-Jami’ [839], namun dilemahkan olehnya dalam Dha’if Sunan Abi Dawud [1086], sedangkan Abdul Qadir al-Arna’uth menghasankannya, sebagaimana dalam Raudhat al-Muhadditsin [4579] as-Syamilah)
Periwayat hadits :
- Abu Malik al-Asy’ari. Sahabat, wafat tahun 18 H. Rawi Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Bukhari secara mu’allaq.
- Syuraih bin Ubaid al-Himshi, tabi’in menengah. Wafat setelah tahun 100 H. Rawi Abu Dawud, Nasa’i dan Ibnu Majah. Ibnu Hajar mengatakan, “Beliau ini tsiqah namun hadisnya banyak yang mursal.” (Taqrib [1/416]). Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Tabi’in dari Syam, tsiqoh.” an-Nasa’i mengatakan, “Tsiqoh.” Ibnu Abi Hatim di dalam al-Marasil mengatakan dari Bapaknya, “Riwayatnya dari Abu Malik al-Asy’ari adalah mursal.” adz-Dzahabi mengatakan, “Yahya bin Ma’in mentsiqohkannya, sedangkan Abu Hatim melemahkannya.” (Mizan al-I’tidal [2/231])
- Dhamdham bin Zur’ah al-Himshi, semasa dengan tabi’in kecil. Rawi Abu Dawud dan Ibnu Majah dalam Tafsirnya. Ibnu Hajar mengatakan, “Shaduq namun sering keliru.”
- Isma’il bin Iyasy, Abu Utbah al-Himshi. Tabi’it tabi’in menengah, wafat tahun 181 atau 182 H. Rawi Abu Dawud, an-Nasa’i, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah, Bukhari dalam Juz Raf’ul yadain. Ibnu Hajar mengatakan, “Beliau shaduq dalam meriwayatkan dari penduduk negerinya, namun mukhtalith untuk selain mereka.”
- Muhammad bin Isma’il bin Iyasy al-Himshi. Periwayat senior yang mengambil hadits dari tabi’it tabi’in. Rawi Abu Dawud. Ibnu Hajar mengatakan, “Mereka mencelanya karena meriwayatkan hadits dari bapaknya padahal tidak mendengarnya secara langsung.”
- Muhammad bin Auf bin Sufyan at-Tha’i al-Himshi. Periwayat menengah yang mengambil hadits dari tabi’it tabi’in, wafat tahun 272 atau 273 di Himsh. Rawi Abu Dawud dan an-Nasa’i dalam Musnad Ali. Ibnu Hajar mengatakan, “Tsiqoh, hafiz.” (Biografi perawi ini dinukil dari aplikasi Ruwat at-Tahdzibain Maktabah as-Syamilah)
Derajat hadits :
Pada awalnya Syaikh al-Albani menshahihkan hadits ini dalam takhrij al-Kalim at-Thayyib [61] kemudian beliau ruju’ dan mendha’ifkannya, dan membuangnya dari Sahih al-Kalim at-Thayyib cetakan ke delapan (lihat Koreksi Ulang Syaikh Albani, hal. 120). Hal itu beliau lakukan dimungkinkan karena keberadaan Syuraih bin Ubaid al-Himshi yang dilemahkan oleh Abu Hatim dan beliau dengan tegas mengatakan bahwa haditsnya dari Abu Malik al-Asy’ari adalah mursal sebagaimana dinukil oleh Abdurrahman bin Abi Hatim -anaknya- di dalam Marasil-nya. Di tempat yang lain, Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan, “Syuraih bin Ubaid tidak mendengar hadits dari Abu Malik al-Asy’ari, sebagaimana sudah berlalu keterangannya berulang kali…” (ad-Dha’ifah [3031]). Walaupun dalam hal ini, Yahya bin Ma’in mentsiqohkannya. Dari sini kita mengetahui bahwa para ulama jarh wa ta’dil berselisih mengenai status Syuraih bin Ubaid ini. Kaidah umum yang berlaku dalam hal ini adalah, ‘Jarh yang diperinci itu didahulukan daripada ta’dil yang bersifat umum. Demikian pula ta’dil lebih didahulukan daripada jarh yang mubham/tidak dijelaskan sebabnya’ (lihat Dhawabith al-Jarh wa at-Ta’dil, hal. 47). Sehingga karena adanya kelemahan inilah maka pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah hadits ini dha’if/lemah, maka tepatlah apabila Syaikh al-Albani rahimahullah menempatkannya di dalam Dha’if Sunan Abu Dawud.
Riwayat yang sahih
Terdapat riwayat yang sahih mengenai dzikir ketika masuk rumah, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Imam Muslim rahimahullah dalam Sahihnya :
و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى الْعَنَزِيُّ حَدَّثَنَا الضَّحَّاكُ يَعْنِي أَبَا عَاصِمٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ فَذَكَرَ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ وَعِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ لَا مَبِيتَ لَكُمْ وَلَا عَشَاءَ وَإِذَا دَخَلَ فَلَمْ يَذْكُرْ اللَّهَ عِنْدَ دُخُولِهِ قَالَ الشَّيْطَانُ أَدْرَكْتُمْ الْمَبِيتَ وَإِذَا لَمْ يَذْكُرْ اللَّهَ عِنْدَ طَعَامِهِ قَالَ أَدْرَكْتُمْ الْمَبِيتَ وَالْعَشَاءَ
Muhammad bin al-Mutsanna al-Anazi menuturkan kepada kami, dia berkata; ad-Dhahhak yaitu Abu Ashim menuturkan kepada kami dari Ibnu Juraij, dia berkata; Abu Zubair mengabarkan kepadaku dari Jabir bin Abdullah bahwa dia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang hendak masuk rumahnya kemudian dia berzikir kepada Allah ketika masuk dan ketika akan menyantap makanan maka syaitan akan mengatakan -kepada pengikutnya-, ‘Kalian tidak bisa tidur di sini dan tidak pula mendapatkan bagian makanan’. Kemudian apabila dia memasuki rumahnya namun tidak berzikir kepada Allah ketika masuknya maka syaitan akan berkata, ‘Kalian bisa menginap malam ini’. Dan apabila dia tidak berzikir kepada Allah ketika menyantap makanan maka syaitan akan mengatakan, ‘Kalian bisa menginap dan makan di sini.’.” (HR. Muslim dalam Kitab al-Asyribah, diriwayatkan pula oleh Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, lihat Syarh Sahih al-Adab al-Mufrad [3/219])
Yang dimaksud dengan berzikir kepada Allah ketika masuk rumah, yang tampak bagi saya adalah -wallahu a’lam- yaitu dengan mengucapkan salam berdasarkan hadits-hadits lainnya, oleh sebab itu al-Bukhari rahimahullah mencantumkan hadits ini di dalam al-Adab al-Mufrad setelah membawakan hadits-hadits tentang salam ketika masuk rumah. Atau dengan membaca bismillah, sebagaimana yang dinyatakan oleh an-Nawawi rahimahullah (lihat Shahih al-Adzkar, hal. 32). Atau makna yang lebih luas lagi; asalkan mengingat Allah ketika memasukinya -berdasarkan keumuman makna ungkapannya- . Namun makna yang terakhir ini tidak tepat sebab hal itu akan menyebabkan setiap orang akan membaca apa saja semaunya. Wallahu waliyyut taufiq.